MENYAMBUT VISI MARITIM PRESIDEN “KERJA”
MENYAMBUT VISI MARITIM
PRESIDEN “KERJA”
“INDONESIA
BUKAN NEGARA MARITIM TAPI HANYA NEGARA KELAUTAN”
Isu
maritim sebenarnya bukan hal yang baru, isu Maritim ini juga bisa dimetaforakan
dengan Pasang Surut di Pantai dimana isu ini “ Turun dan Naik” layaknya Pasut.
Ketika pemimpinnya berwawasan Maritim serta merta orang-orang yang ada
dibawahnya baik itu rakyat jelata maupun masyarakat kelas atas juga ikut untuk
menyuarakan hal yang sama, semoga trend
ini bukan merupakan pertanda bahwa kita termasuk generasi ikut-ikutan atau
tidak tetap pada pendirian atau juga bukan merupakan akumulasi karakter
masyarakat Indonesia yang sangat suka berkata “IA” sama pemimpinnya (Generasi
ABS/Asal Bapak Senang). Namun justru merupakan kesadaran kumulatif bangsa akan
potensi yang dimlikinya dimana saat ini belum maksimal dalam melaksanakan
pengelolaannya.
Serangkaian
acara dialog “MARITIM” yang teruntai dari segala penjuru kota di Indonesia baik
itu yang diselenggarakan oleh kalangan akademisi mapun oleh berbagai lembaga
Non Pemerintah menandakan bahwa kepedulian dan pemahaman kita akan MARITIM
sudah mulai tergugah bahkan sudah berada pada level yang siap “idle” dalam mengelola dan memanfaatkan
segala potensi maritim yang kita miliki saat ini.
Semangat
Maritim yang menghangat saat ini sebanarnya bukan hanya hadir begitu saja, atau
hadir karena kebetulan luas wilayah
kita melebihi 70 % berupa lautan, namun secara historik membuktikan bahwa
justru para pendahulu kita sudah mempraktekkan kejayaan Maritim bahkan
menjadikan aspek maritim sebagai nadi utama dalam kehidupan bernegara mereka,
ambil contoh misalnya bagaimana keperkasaan armada maritim sriwijaya atau
bagaimana Gadjah Mada pada era kerajaan Majapahit mempersatukan Nusantara
dengan alat utama adalah laut. Belum lagi ketika berbicara kejayaan Suku Bugis dalam mengarungi samudera.
Mereka melakukan pelayaran di penjuru bumi dan bahkan menetap disana, mungkin
diluar dugaan kalau banyak tulisan yang mensinyalir bahwa Raja Prancis yang
bernama Napoleon Boneparte adalah keturunan orang bugis, berdasarkan bukti
empiris napoleon ini memiliki ciri fisik yang sungguh berbeda dengan
orang-orang perancis pada umumnya, postur tubuh Napoleon lebih pendek. Selain
itu tidak diragukan juga bahwa beberapa beberapa keturunan Sultan di Malaysia
juga keturunan bugis, di Singapur masih bisa dilihat hingga kini Bugis Road
meski yang tinggal sekarang disana lebih di dominasi orang-orang tiongkok.
Namun
apakah kita lantas hanya cukup berbangga dengan kejayaan masa lalu itu?,tentu
tidak. Kita mesti mengevaluasi cara berfikir kita tentang laut, laut selama ini
masih banyak dianggap sebagai pemisah, bahkan lautan lebih banyak dipandang
sebagai objek ekstraksi untuk mengeruk kekayaan yang sifatnya hanya sementara.
Tingginya kerusakan sumber daya laut saat ini merupakan fakta empirik yang tak
terbantahkan bahwa kita sebenarnya tak pandai mengelola laut, berdasarkan data
terumbu karang indonesia sebesar 30,4 % berada dalam kondisi rusak atau tidak
baik, dan hanya 2,59 % dalam kondisi sangat baik (LIPI, 2014). Jika berdasarkan
bukti-bukti ini apakah kita sebagai bangsa Indonesia masih pantas menyebut
dirinya sebagai negara MARITIM?. Jawabannya tentu tidak, bangsa maritim adalah
sebuah bangsa yang pandai mengelola lautnya dan menjadikan laut sebagai keunggulannya,
sementara kita selama ini justru menjadikan laut sebagai kelemahan, laut justru
menjadi pengahalang utama bagi pertumbuhan ekonomi. Lihat saja distribusi
barang dari jawa ke pulau-pulau lainya di Indonesia timur, biaya logistik yang
sangat mahal mengakibatkan semakin tingginya harga barang disana yang mestinya
justru dengan moda transportasi laut lebih murah, karena distribusi barang
melalui laut adalah jalur bebas hambatan, bebas dari hambatan kemacetan dan
bebas dari rintangan jalanan rusak, selain itu beban fiskal pemerintah akan
terbantu karena tidak perlu dipusingi terlalu jauh mengenai tingginya biaya maintenance jalanan karena jalanan ini
sudah jarang dilewati oleh transport barang yang bermuatan berat, dimana kita
ketahui bahwa penyebab utama kerusakan jalan adalah disebabkan oleh banyaknya
truk-truk pengakut barang. Berdasarkan data jumlah perbaikan jalan di Indonesia
mencapai 70 Triliun/Tahun. (World Bank, 2013). tentu angka ini sangat fantastis
jika bisa diahlikan ke infrastrukur baru bukan lagi merupakan melulu
pemeliharan. Kasus proyek abadi Jalan PANTURA Jawa adalah contoh yang sangat
sesuai dengan kondisi ini, dimana jalan pantura jawa sangat ramai dan dipenuhi
transportasi dengan muatan-muatan berat sehingga sekuat apapun jalan yang dibangun
disana pasti akan rusak meski itu belum sampai setahun, ini adalah contoh
menarik tentang amburadulnya sistem distrubusi logistik di Indonesia.
Selain
masalah distribusi logistik, laut sebenarnya sangat bisa diandalkan untuk
mengatasi berbagai persoalan pelik bangsa, persoalan yang sangat membebani saat
ini adalah tingginya konsumsi BBM bersubsidi warga kita, padahal hal ini tidak
perlu terjadi seandainya dari dulu para pemimpin kita pintar mengelola laut.
Energi di lautan sangat bervariasi dan tersedia dengan jumlah energi yang tidak
terbatas, namun memang diperlukan teknologi untuk mebangkitkannya. Beberapa
energi yang bisa dibangkitkan adalah energi kinetik laut seperti ombak dan
arus, berdasarkan data Indonesia dilalui oleh arus berenergi besar yaitu Indonesia Trough Flow (ARLINDO) di selat Makassar, konon jika energi
ini berhasil dibangkitkan bisa mencukupi energi listrik se Asia, belum lagi
energi lainnya seperti OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion). Bahkan
berdasarkan penelitian terbaru bahwa ternyata setiap cm3 air laut sangat
berharga dalam menghasilkan etanol, bahkan etanol yang bersumber dari
plankton-plankton di air laut ini lebih efisien 10 x lipat dibandingkan dengan
sumber-sumber etanol di daratan seperti umbi-umbian.
Jika
dilihat dari sisi ekologi atau aspek lingkungan hidup, justru laut merupakan
penyuplai oksigen utama dunia, sangat berbeda dengan yang digambarkan para
pendahulu kita bahwa sumber oksigen utama adalah tumbu-tumbuhan di hutan, hal
ini karena tumbuhan di hutan sama efesienya dalam memproduksi oksigen dan
carbon dioksida, selain itu pada saat tumbuhan ini ditebang atau mati justru
gas metan yang dihasilkan jauh lebih banyak, bandingkan dengan penghasil
oksigen dari lautan yaitu Fitoplankton, fitoplankton ini sangat efektif dalam
menghasilkan oksigen dan sedikit menghasilkan carbon dioksida serta tidak
menghasilkan gas metana. Hal ini karena fitoplankton pada saat mati dia
tenggelam ke dasar lautan, sehingga carbon yang dihasilkan ikut ke tenggelam ke
dasar.
Berbagai
potensi dan keunggulan lautan diatas hanya beberapa hal dan tentunya masih
banyak yang belum digali, namun ternyata hal-hal yang telah disebutkan
sebelumnya belum mampu juga dikelola dengan baik. Sebenarnya ini wajar, karena
dari anak-anak kita sudah diajar untuk mempunyai pola hidup Agraris bukan pola hidup Maritim, sehingga pandangan kita lebih
banyak tertuju ke sumberdaya yang ada di daratan saja, sementara sumberdaya
laut terkesan di anak tirikan.
Dengan
begini, wajar rasanya jika penulis dalam ungkapan pertama menyebutkan bahwa
kita sebenarnya saat ini sudah bukan lagi negara Maritim tapi sisa Negara Kelautan.
Kita dikelilingi laut tapi tidak pandai memanfatkannya dengan baik. Untuk itu
keputusan Presiden Jokowi dan membentuk kabinet KERJA dan menetapkan Ibu Susi
Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dan Bapak Soesilo Indroyono
sebagai Menko Maritim diyakini sebagai perpaduan sempurna untuk mengembalikan
kembali kejayaan maritim Indonesia. Aminnn...
Comments
Post a Comment