SURVEY TERUMBU KARANG
PERAIRAN KECAMATAN BONTO BAHARI
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Coral
Bleaching
Sebagian
besar karang adalah binatang-binatang kecil (disebut POLIP) yang hidup
berkoloni dan membentuk terumbu. Mereka mendapatkan makanannya melalui dua
cara: pertama, dengan menggunakan tentakel mereka untuk menangkap plankton dan
kedua, melalui alga kecil (disebut zooxanthellae) yang hidup di jaringan
karang. Beberapa jenis zooxanthellae dapat hidup di satu jenis karang (Rowan
dan Knowlton, 1995; Rowan et al., 1997). Biasanya mereka ditemukan dalam
jumlahbesar dalam setiap polip, hidup bersimbiosis, memberikan : warna pada
polip, energi dari fotosintesa dan 90% kebutuhan karbon polip (Sebens, 1997).
Zooxanthellae menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang dan memberikan
sebanyak 95% dari hasil fotosintesisnya (energi dan nutrisi) kepada karang
(Muscatine, 1990)
Dalam
karang pembentuk terumbu, kombinasi fotosintesis dari alga dan proses
fisiologis lainnya dalam karang membentuk kerangka batu kapur (kalsium
karbonat). Pembentukan kerangka yang lambat ini, diawali dengan pembentukan
koloni dan kemudian membentuk kerangka kerja tiga dimensi yang rumit menjadikan
terumbu karang sebagai tempat berlabuh bagi banyak jenis biota, yang banyak
diantaranya penting untuk kehidupan masyarakat dan komunitas pesisir.
“Pemutihan” karang (yaitu menjadi pudar atau berwarna putih salju) terjadi
akibat berbagai macam tekanan, baik secara alami maupun karena manusia, yang
menyebabkan degenerasi atau hilangnya zooxanthellae pewarna dari jaringan
karang. Dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae berubah sesuai dengan musim
sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya (Brown et al.,
1999; Fitt et al., 2000). Pemutihan dapat menjadi sesuatu hal yang biasa
dibeberapa daerah. Selama peristiwa pemutihan, karang kehilangan 60–90% dari
jumlah zooxanthellae-nya dan zooxanthellae yang masih tersisa dapat kehilangan
50– 80% dari pigmen fotosintesinya. (Glynn, 1996). Ketika penyebab masalah itu
disingkirkan, karang yang terinfeksi dapat pulih kembali, tetapi jumlah
zooxanthellae kembali normal, tetapi hal ini tergantung dari durasi dan tingkat
1.2.
Gambaran Umum
Wilayah
Kecamatan
Bonto Bahari merupakan salah satu bagian wilayah dari Kabupaten Bulukumba yang
terletak pada bagian tenggara dan merupakan satu-satunya wilayah yang
berbatasan langsung dengan Teluk Bone dan Laut Flores. Dari segi geografis
Kecamatan Bonto Bahari terdiri dari dataran dan wilayah pesisir dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah
Utara berbatasan dengan Kecamatan Herlang
- Sebelah
Timur berbatasan dengan Teluk Bone
- Sebelah
Selatan berbatasan dengan Laut Flores
- Sebelah
Barat berbatasan dengan Kecamatan Ujung Loe
Kecamatan
Bonto Bahari merupakan wilayah dataran yang memiliki wilayah seluas 108,6 Km2.
Kecamatan Bonto Bahari mempunyai 4 desa dan 4 Kelurahan. Desa Bira merupakan
Desa yang mempunyai wilayah paling luas yaitu 19,5 KM2 sedangkan
yang mempunyai wilayah yang paling sedikit adalah Kelurahan Tanah Beru yang
sekaligus merupakan ibu kota dari Kecamatan Bonto Bahari.
Kecamatan ini merupakan
penghasil ikan karang terbesar di Kabupaten Bulukumba, hal ini karena struktur
dari Pantai Bonto Bahari di dominasi oleh batuan karang dan sedikit muara
sungai sehingga mewujudkan kondisi perairan yang sesuai dengan pertumbuhan
terumbu karang.
1.2. Tujuan
Tujuan
dari pelaksanaan Survey ini adalah sebagai berikut :
1.
Mendapatkan data kondisi terumbu karang
berdasarkan persentase tutupan karang di lokasi Bleaching.
2.
Mendapatkan gambaran umum kondisi terumbu
karang, tingkat kerusakan dan penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di
Bonto Bahari, khususnya di daerah Bleaching.
1.3. Sasaran
Adapun sasaran dari pelaksanaan survey ini adalah :
1.
Laporan kondisi terumbu karang, tingkat
kerusakan dan penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di pantai Tanah Lemo,
Pantai Munte dan Pantai Bara serta Pulau Liukang Loe.
2.
Informasi awal bagi pemerintah kabupaten Bulukumba
dan Propinsi Sulawesi Selatan dalam Pengelolan perairan yang mengalami Coral
Bleaching.
1.4. Rumusan Masalah
Kecenderungan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut saat
ini mengarah pada pola pemanfaatan yang kurang memperhatikan aspek ekologi,
aspek ini dianggap sebagai penghambat pertumbuhan aspek ekonomi, sehingga
nyaris masyarakat tidak pernah
memperhatikan aspek ini dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada. Padahal dampak dari kurang diperhatikannya aspek ekologis
juga berdampak pada aspek ekonomi, dimana aktifitas ekonomi tidak akan bisa
berkelanjutan. Selain dari aspek ekonomi, kerusakan ekologis juga berimbas pada
aspek lainnya seperti aspek sosial kultural.
Selain itu pemutihan karang (Coral Bleaching) disinyalir
oleh warga setempat disebabkan oleh operasional Tambak Intensif di Tanah Lemo. Berdasar pada permasalahan itu maka pokok-pokok
permasalahan yang harus dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kualitas air laut yang ada di parairan pantai Bonto
Bahari?
2. Berapa jauh tingkat kerusakan dan faktor apa saja
penyebab utama terjadinya kerusakan terumbu karang ditinjau dari kualitas dan
karakteristik biogeofisik di kawasan pesisir di Kecamatan Bonto Bahari?
3. Bagaimana strategi pengelolaan kawasan pesisir (terumbu
karang, dan pantai) kedepan secara optimal sehingga dapat mengakomodir
keinginan masyarakat dengan tetap memperhatikan kebijakan pemerintah ?
II.
METODOLOGI
2.1.
Waktu
dan Lokasi
Survey ini dilaksanan pada bulan April 2016. Pelaksanaan
survey dilaksanakan sepanjang Pantai Tanah Lemo, Pantai Munte, Pantai Bara
serta Pulau Liukang Loe Kecamatan Bonto Bahari.
2.2.
Metode Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan
dengan teknik observasi dan sistem towing, pengamatan dengan sistem towing ini
sebenarnya sama dengan teknik Manta Tow yaitu dengan menggunakan papan manta
sambil melakukan pengamatan tutupan karang di atas permukaan laut. Namun pada
kesempatan survey kali ini kami tidak menggunakan papan manta karena peralatan
yang tersedia tidak tersedia sehingga kami memutuskan untuk melakukan Towing
diatas permukaan laut dengan Bantuan Alat Selam Dasar (Masker, Snorkel dan
Fins).
2.3.
Format
Pengambilan data
Adapun parameter yang diambil sebagai berikut
:
1. Data
Sosek (wawancara)
2. Data
Kualitas air (Sampling)
3. Data
Kondisi Terumbu Karang (Towing)
2.4.
Analis
Data
Teknik
analisa data untuk memformulasi realitas lapangan dengan formulasi kebijakan
dilaksanakan dengan menggunakan Analisis
Deskriftif, ketiga jenis data yang telah diperoleh akan dibandingkan dengan
referensi ilmiah yang sudah ada saat ini dan menghubungkannya dengan hipotetik
yang muncul sebelum dilaksanakannya survey.
2.5.
Indikator
/ Parameter
Untuk mengetahui kondisi
terumbu karang dan penyebab kerusakan (Bleaching) terumbu karang, maka
parameter dasar yang dibutuhkan sebagai berikut :
1. Tutupan
karang
2. Kualitas
Air
- pH
- Suhu
- Besi
- Turbidity
- Ammonia
- Salinitas
- DO
(Dissolved Oxigen)
- TSS
3. Sosek
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Deskripsi Lokasi Pengamatan
Lokasi pengamatan kondisi
terumbu karang dengan menggunakan teknik towing dilakukan di sepanjang Pantai
Tanah Lemo – Pantai Bara dan Pantai Liuang Loe. Dari hasil pengamatan kondisi
topografi perairan Kecamatan Bonto Bahari, secara umum terdapat ada 2 (dua)
tipe terumbu yang ditemukan yaitu tipe slope, dengan tingkat kecerahan sangat
baik/visibility perairan hingga 100% dan suhu perairan yang hangat dengan
kisaran suhu yang merata sekitar 30 ºC.
Kondisi geografis Kecamatan
Bonto Bahari yang “kaya” akan pergerakan air laut sangat memungkinkan adanya
konektifitas antar lokasi. Konektifitas antar lokasi dapat juga menjadi
prioritas pengelolaan, dimana lokasi yang teridentifikasi sebagai daerah sumber
benih dipastikan lestari hingga dapat terus mensuplai benih ke lokasi
pemanfaatan lainnya. Selain itu, pergerakan arus laut ini cukup membantu dalam
mempercepat pertumbuhan karang baru di dalam kawasan pantai kecamatan Bonto
Bahari.
Gambar
1 : Peta Lokasi Survey
Tabel
1 : Lokasi Pengamatan Kondisi Terumbu Karang di Pantai Kec. Bonto bahari
No
|
Nama
Lokasi
|
Bujur
|
Lintang
|
1.
|
Tanah Lemo
|
S.
5034’18.5”
|
E.
120022’64”
|
2.
|
Pulau Liukang Loe
|
S.
5038’23.7”
|
E.
120026’00”
|
3.
|
Pantai Bara
|
S.
5036’44.9”
|
E.
120026’15”
|
4.
|
Pantai Munte
|
S.
5033’54.2”
|
E.
120022’32.9”
|
3.2.
Hasil
a.
Kondisi
Karang
Coral bleaching dijumpai di
semua tempat yang disurvey pada perairan Kecamatan Bonto Bahari yang
dilaksanakan pada bulan April 2016. Berdasarkan pengamatan, rata-rata terumbu
karang yang menunjukkan tanda-tanda pemutihan sebesar 60 % dimana 45 – 55 % sudah terlihat mulai pucat
(mengalami fase awal bleaching) dan selebihnya sekitar 5 -15 mengalami
pemutihan total (Gambar 2). Setelah dilaksanakan survey tercatat karang
sehubungan dengan pemutihan (Bleaching) ini diperkirakan diatas 15 %.
Gambar
2 : Kondisi Karang
Dari tabel terlihat bahwa
terumbu karang yang mengalami pemucatan sudah mencapai 45 %, kondisi pemucatan
ini sudah merupakan indikasi awal bahwa karang tersebut mulai ditinggalkan alga
simbiotiknya namun belum sepenuhnya, jika kondisi berlanjut maka dipastikan
bahwa terumbu karang sebesar 45 % ini juga akan mengalami pemutihan
(Bleaching). Begitupula terlihat bahwa terumbu karang yang mengalami pemutihan
sudah mencapai 15 %, meskipun karang ini sudah ditinggalkan oleh alga
simbiotiknya namun jika kondisi ekstrim perairan sudah kembali ke batas
toleransi terumbu karang itu sendiri maka karang yang bleaching ini masih
memungkinkan untuk pulih. Sementara karang yang sudah mati mencapai 16 %.
Karang mati ini harus segera dikelola karena jika tidak ada intervensi maka
alga akan menutupi keseluruhan wilayah dan akan mengalami suksesi biota.
Penutupan alga pada karang mati akan berdampak pada hilangnya ekosistem terumbu
karang untuk selamanya di daerah tersebut. Untuk itu sebelum terjadi penutupan alga pada
terumbu karang mati ini maka diperlukan upaya rehabilitasi terumbu karang.
Adapun
hasil dokumentasi terumbu karang sebagai berikut :
Gambar
3: Dokumentasi Kondisi Karang
b.
Kualitas
Air Laut
Untuk mendukung kehidupan
biota laut, maka parameter lingkungan di wilayah perairan tidak boleh melebihi
ambang batas yang menjadi batas toleransi dari biota laut. Adapun baku mutu air
laut untuk biota laut berdasarkan keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.
51 Tahun 2014.
Hasil
pengukuran kualitas air sebagai berikut :
No
|
Nama Lokasi
|
Warna
|
Bau
|
Lapisan Minyak
|
Turbidity (NTU)
|
pH
|
Suhu (0C)
|
Besi (ppm)
|
Amonia
|
Salinitas (ppt)
|
DO
|
TSS (mg/l)
|
1.
|
Tanah Lemo
|
-
|
-
|
-
|
0.01
|
8.03
|
30.4
|
0.10
|
>3
|
34
|
5.36
|
11,6
|
2.
|
Pulau Liukang Loe
|
-
|
-
|
-
|
0.01
|
8.19
|
30.3
|
0.15
|
>3
|
35
|
5.55
|
12,7
|
3.
|
Pantai Bara
|
-
|
-
|
-
|
0.01
|
8.08
|
30.1
|
0.10
|
>3
|
35
|
4.8
|
11,0
|
4.
|
Pantai Munte
|
-
|
-
|
-
|
0.01
|
8.22
|
30.04
|
0.01
|
>3
|
34
|
6.35
|
12,4
|
- Turbidity
Turbiditas merupakan pengukuran optik dari hamburan sinar yang
dihasilkan karena interaksi antara sinar yang diberikan dengan partikel
suspensi yang terdispersi dalam larutan. Partikel-partikel suspensi tersebut
dapat berupa lempung alga, material organik, mikroorganisme, material koloid,
dan sebagainya. Kekeruhan/turbiditas adalah banyaknya jumlah partikel
tersuspensi molekul besar sekalipun seperti tannin dan lignin di dalam air.
Kekeruhan
merupakan sifat fisik air yang tidak hanya membahayakan ikan tetapi juga
menyebabkan air tidak produktif, karena
menghalangi masuknya sinar matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan
air mengandung begitu banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk
tampilan menjadi berwarna dan kotor.
Dari
hasil pengukuruan kekeruhan diperoleh bahwa kadar NTU sangat rendah atau
kecerahan air sangat tinggi, dimana berdasarkan standar baku dari kementerian
lingkungan hidup bahwa kadar Turbidity maksimal yang ditoleransi oleh biota
laut < 5 NTU. Hal ini memperlihatkan hasil bahwa kondisi perairan ini sangat
bersih dan bebas dari bahan organik yang mungkin disebabkan oleh limbah. Perairan yang tercemar oleh
limbah utamanya limbah orgnik seperti limbah hasil budidaya, karena perairan
yang memiliki kandungan organik yang tinggi berpotensi untuk terjadinya
blooming Alga yang biasa disebut eutrofikasi,
namun dengan kondisi turbidity berdasarkan hasil pengamatan memberi
indikasi yang kuat bahwa aktifitas di daratan seperti tambak Intensif yang ada di Tanah Lemo sama sekali tidak
mempengaruhi terhadap kehidupan biota laut.
- pH
Organisme akuatik dapat hidup dalam suatu
perairan yang mepunyai nilai PH dengan kisaran toleransi antara asam lemah
sampai basa lemah. PH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya
berkisar antara 7 sampai 8,5.Kondisi perairan yang bersifat asam maupun basa
akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan
terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.Disamping itu PH yang sangat
rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat
toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme
akuatik.Sementara PH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara ammonium
dan ammoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan PH diatas netral akan
meningkat konsentrasi ammoniak yang juga sangat toksik bagi organisme.
Berdasarkan hasil survey yang kami lakukan,
pH di perairan Bonto Bahari berkisar 8,03 – 8,22. Nilai ini mengindikasikan
bahwa parameter pH dalam keadaan normal dan sekaligus membuktikan kualitas air
masih sangat baik.
- Suhu
Terumbu karang dapat tumbuh dengan baik di perairan laut
dengan suhu 21° – 29° C. Masih dapat tumbuh pada suhu diatas dan dibawah
kisaran suhu tersebut, tetapi pertumbuhannya akan sangat lambat. Itulah
sebabnya terumbu karang banyak ditemukan di perairan tropis seperti Indonesia
dan juga di daerah sub tropis yang dilewari aliran arus hangat dari daerah
tropis seperti Florida, Amerika Serikat dan bagian selatan Jepang. (http://www.goblue.or.id/tentang-terumbu-karang)
Sumber lain menyebutkan, meski terlihat kokoh seperti batuan
karang, ekosistem ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Suhu optimum
bagi pertumbuhan terumbu karang berkisar 26-28°C.1 Dengan toleransi suhu berkisar 17-34°C.2 Perubahan suhu dalam
jangka waktu yang panjang bisa membunuh terumbu karang. Ekosistem ini juga
memerlukan perairan yang jernih, sehingga matahari bisa menembus hingga lapisan
terdalamnya. (https://ensiklopedia.id/terumbu-karang/)
Berdasarkan hasil survey suhu rata-rata air laut di perairan
Bonto Bahari berkisar antara 30,040C – 30,40C, dimana
jika dibandingkan dengan berbagai referensi diatas mengindikasikan bahwa suhu
perairan Bonto Bahari memang cenderung mengalami pemanasan dimana hal ini juga
disinyalir sebagai pemicu terjadinya pemutihan (Bleaching). Namun
demikian suhu laut 300C sebenarnya masih merupakan suhu toleran
sehingga terumbu karang masih tumbuh dengan cukup baik. Bleaching akibat
perubahan suhu air biasanya lebih disebabkan karena adanya perubahan mencolok
sekitar 20C dari batas toleransi, namun hal ini belum mampu kami
deteksi mengingat survey hanya dilakukan sekali dan untuk mendeteksi hal ini
diperlukan data Time Series secara periodik.
Meskipun dari pengambilan sample suhu air laut terdapat
indikasi pemanasan air namun berdasarkan analisis kami bahwa penyebab utama
dari Bleaching ini bukanlah akibat perubahan suhu, perubahan suhu ini lebih
kepada faktor pelengkap penyebab
Bleaching. Hasil ini diperkuat dengan hasil survey pada stasiun 2 (Pulau
Liukang Loe) dimana terlihat bahwa Bleaching yang terjadi di Pulau Liukang Loe
hanya berupa Spot-Spot dan hanya terjadi pada karang yang kemungkinan
tersingkap secara langsung oleh sinar matahari, sementara karang-karang lainnya
masih dalam kondisi yang cukup baik.
Hal inilah yang memperkuat dugaan kami sebelumnya bahwa
perubahan suhu bukanlah penyebab utama, karena suhu yang ada di perairan Tanah
Lemo dan Pantai Bara terlihat Homogen dengan suhu yang ada di Pulau Liukang
Loe.
- Salinitas
Salinitas merupakan salah satu faktor pembatas yang sangat
penting bagi karang. Organisme karang hidup dengan sangat baik pada salinitas
35‰, atau sama dengan salinitas rata-rata lautan (samudra). Kisaran salinitas pada
umumnya karang masih ditemukan antara 27‰ sampai 40‰, dan pertumbuhan terbaik
karang berkisar antara 34‰ sampai 36‰. Beberapa jenis karang yang tahan
terhadap salinitas yang tinggi adalah dari jenis Acropora dan Porites. Seperti
karang Acropora di Lautan Hindia mampu bertahan hidup sampai salinitas 40‰
dalam beberapa jam. Sedangkan karang yang paling tahan terhadap peningkatan
salinitas adalah dari kelompok Porites, yang mampu bertahan hidup sampai pada
salinitas 48‰. Salinitas mematikan seluruh jenis karang terjadi di atas 48‰.
Salinitas terendah yang bisa ditolelir karang sekitar 27‰. Akan tetapi pada dasarnya juga tergantung lingkungan dimana organisme karang berada, karena ada kalanya pada saat-saat tertentu berbagai jenis karang juga masih ditemukan pada salinitas sampai mendekati 0‰. Terutama bagi berbagai jenis karang yang berada di daerah intertidal pada saat surut terendah.
Salinitas terendah yang bisa ditolelir karang sekitar 27‰. Akan tetapi pada dasarnya juga tergantung lingkungan dimana organisme karang berada, karena ada kalanya pada saat-saat tertentu berbagai jenis karang juga masih ditemukan pada salinitas sampai mendekati 0‰. Terutama bagi berbagai jenis karang yang berada di daerah intertidal pada saat surut terendah.
Adapun
salinitas di lokasi survey berkisar 34 ppt – 35 ppt, hal ini mengindikasikan
bahwa kondisi salinitas pada perairan ini sangat baik dan merupakan kadar
salinitas terbaik untuk mendukung pertumbuhan terumbu karang.
- DO (Dissolved Oxigen)
Kadar
oksigen terlarut di perairan ini berkisar antara 4.8 - 6,35 ppm. Oksigen di
perairan ini masih normal sesuai dengan kadar oksigen terlarut di lapisan
permukaan laut umumnya. Kadar oksigen di permukaan laut yang normal berkisar
5,7-8,5 ppm (Sutamihardja, 1978). Menurut Da’i (1991), kadar oksigen di Teluk
Nanwan, Taiwan dimana terumbu karang tumbuh dan berkembang baik berkisar antara
4,27-7,14 ppm. Kadar oksigen terlarut di dalam massa air nilainya adalah
relatif, biasanya berkisar antara 6-14 ppm (Connel dan Miller, 1995). Rivai
(1983) mengatakan bahwa pada umumnya kandungan oksigen sebesar 5 ppm dengan
suhu air berkisar antara 20-30oC relatif masih baik untuk kehidupan
ikan-ikan, bahkan apabila dalam perairan tidak terdapat senyawa - senyawa yang
bersifat toksik (tidak tercemar) kandungan oksigen sebesar 2 ppm sudah cukup
untuk mendukung kehidupan organisme perairan. KLH (2004) menetapkan nilai
ambang batas oksigen terlarut untuk kehidupan biota laut adalah ≥5 ppm. Kadar
oksigen di perairan laut yang tercemar ringan di lapisan permukaan adalah 5 ppm
(Sutamihardja, 1987). Dengan demikian dilihat dari kadar oksigen terlarutnya
dapat dikatakan bahwa perairan ini relatif belum tercemar oleh senyawasenyawa
organis dan masih baik untuk kehidupan biota laut.
Berdasarkan
data survey yang dilakukan kadar DO yang ada diperairan survey cukup sesuai
untuk mendukung kehidupan boita laut termasuk terumbu karang. Adapun kadar DO
di perairan pantai bara yang hanya 4,8 ppm diakibatkan karena pada saat pengambilan
sample kondisi perairan sangat tenang dan tidak terjadi pergerakan air yang
cukup. Namun kandungan DO sebesar 4,8 ppm sebenarnya masih sangat cukup untuk
mendukung kehidupan biota secara normal.
- TSS (Total Suspended Solid)
Total
Suspended Solid (TSS) adalah material padat tersuspensi (diameter>1 µm) yang
tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0.45 m (Effendi, 2000).
TSS terdiri dari lumpur, pasir halus dan jasad-jasad renik yang sebagian besar
disebabkan oleh adanya pengikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan
air. Pengamatan terhadap sebaran TSS sering dilakukan untuk mengetahui kualitas
air di suatu perairan, karena nilai TSS yang tinggi menunjukkan tingginya
tingkat pencemaran dan menghambat penetrasi cahaya kedalam air sehingga
mengakibatkan terganggunya proses fotosintesis dari biota air. Dinamika TSS
yang ada di perairan tidak terlepas dari dinamika tutupan lahan yang terjadi di
atasnya, hal ini bisa dilihat dari contoh sederhana bagaimana erosi terjadi
akibat adanya konversi hutan dengan tutupan vegetasi rapat menjadi lahan
terbuka tanpa vegetasi.
Kandungan TSS memiliki hubungan yang erat dengan kecerahan
perairan. Keberadaan padatan tersuspensi tersebut akan menghalangi penetrasi
cahaya yang masuk ke perairan sehingga hubungan antara TSS dan kecerahan akan
menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik. Nilai TSS umumnya semakin rendah ke arah laut. Hal ini
disebabkan padatan tersuspensi tersebut disupply oleh daratan
melalui aliran sungai. Keberadaan padatan tersuspensi masih bisa berdampak
positif apabila tidak melebihi toleransi sebaran suspensi baku mutu kualitas
perairan yang ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, yaitu 70 mg/l.
Dari hasil survey yang dilakukan kandungan TSS
diperairan hanya 11,0 – 12,7 mg/L. Hal
ini menununjukkan kadar TSS yang sangat rendah dan memberikan bukti bahwa
perairan ini masih sangat cerah.
c.
Pengaruh
Aktifitas Tambak
Gambar
4: Lokasi Pengamatan St.04 (Lokasi Tambak)
Mengenai laporan masyarakat
yang menduga bahwa aktifitas tambak ini berpengaruh terhadap munculnya
Bleaching pada terumbu karang pada saat survey tidak bisa dibuktikan, meski hal ini tentunya memerlukan penelitian
lanjutan dan penambahan intensitas pengambilan data.
Namun demikian berdasarkan
berbagai pengalaman empirik sebelumnya, limbah tambak umumnya berupa limbah
organik sehingga perairan yang terkena limpasan air limbah tambak intensif
biasanya akan terkena Blooming Algae karena melimpahnya nutrisi untuk
pertumbuhan Fitoplankton. Pada Stasiun 04 yang merupakan perairan dekat dengan
Outlet limbah belum kami temukan tanda – tanda penambahan bahan organik
terlarut (BOT).
Selain itu, kami juga
melengkapi stasiun 04 dengan stasiun 01 yang merupakan stasiun yang berlokasi
di sekitar outlet pembuangan tambak intensif. Adapun Lokasi stasiun pengamatan
dapat kami gambarkan berikut ini :
Gambar
5: Lokasi Pengamatan St.01 (Lokasi Tambak)
d.
Situasi
Lokasi Kejadian Bleaching
Gambar
6: Lokasi Fishing Ground Ikan Karang
Berdasarkan hasil wawancara singkat
oleh penduduk setempat, lokasi terjadinya pemutihan karang merupakan tempat
penangkapan ikan karang. Lokasi penangkapan ikan karang ini juga merupakan
penghasil ikan karang terbesar di Kabupaten Bulukumba. Hal inilah yang menjadi
indikasi kuat bahwa penyebab utama dari Bleaching lebih banyak disebabkan oleh
tekanan (exploitasi) sumberdaya. Karena parameter lain seperti kualitas air
laut tidak memberikan indikasi terhadap impact bleaching.
Adapun lokasi Fishing Ground tersebut dapat dilihat
di sepanjang garis merah pada gambar 6.
e.
Dokumentasi
Pelaksanaan Survey
Gambar
7. Pengambilan Sampling Air dari berbagai kedalaman
Gambar
8. Pengukuran In Situ Berbagai Parameter
IV.
KESIMPULAN
DAN SARAN
1.
Kesimpulan
a. Kondisi
terumbu karang di lokasi Survey yaitu 45 % dalam kondisi Pale (Pucat), 15 %
dalam kondisi Memutih (Bleaching) dan 16 % dalam kondisi Mati (Death).
b. Kualitas
air laut di perairan survey masih pada batas toleran biota laut dan masih
sesuai dengan baku mutu air laut berdasarkan keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2014.
c. Adapun
paramater kualitas air laut sebagai berikut :
-
Turbidity 0.01 NTU
-
pH 8.03 – 8.22
-
Suhu 30.04 – 30.4
-
Salinitas 34 – 35 ppt
-
DO 4.8 – 6.35
-
TSS 11.0 – 12.7 mg/l
d. Penyebab
terjadinya bleaching lebih besar disebabkan oleh aktifitas Illegal Fishing
(Pembiusan) karena sebaran suhu di perairan sekitar Homogen sementara kejadian
Bleaching yang Masive hanya terjadi di perairan Tanah Lemo sampai Perairan Bara
sementara perairan Pulau Liukang Loe tidak mengalami kondisi yang separah
dengan perairan lainya.
e. Kejadian
Bleaching akibat perubahan suhu perairan laut hanya merupakan penyebab pelengkap terjadinya
Bleaching.
2.
Saran
a. Perlunya
pengawasan yang lebih intensif di perairan Tanah Lemo – Pantai Bara, mengingat
perairan ini merupakan lokasi Fishing
Ground komonitas ikan karang terbesar di Kabupaten Bulukumba.
b. Perlu
dilaksanakan Rehabilitasi Ekosistem Terumbu Karang di perairan terkait, sebelum
terumbu karang yang mengalami Bleaching tersebut terganti dengan turf algae.
c. Untuk
menurunkan tekanan terhadap terumbu karang di lokasi survey, perlu ditetapkan
sebagai Daerah Perlindungan Laut.
d. Pihak
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bulukumba harus melaporkan dan
berkoordinasi ke Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Selatan dan
Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, karena kewenangan pengelolaan laut saat ini
0 – 12 Mill laut merupakan kewenangan propinsi dan 12 Mill laut – ZEE merupakan
kewenangan pemerintah pusat.
Bulukumba, April 2016
Mengetahui :
Kepala Dinas
Kelautan & Perikanan
Drs. Alfian A. Mallihungan
Pangkat : Pembina
TK.I
NIP : 19741029
199303 1 001
|
Ketua Tim Survey
(Sekretaris Dinas
Kelautan & Perikanan)
Ir. Nasaruddin
NIP: 19601109
198903 1 001
|
Comments
Post a Comment