KONFLIK PENGGUNAAN ALAT PENANGKAPAN IKAN BUKAN KONFLIK ANTAR KABUPATEN
Hari sabtu tanggal 20 Agustus 2022 warga Bantaeng dan Bulukumba dihebohkan dengan adanya penutupan di jalan poros kedua wilayah tersebut. Penutupan jalan poros ini menyebabkan kemacetan panjang yang mengekor hampir 1 (satu) kilometer, pemblokiran jalan ini dipicu oleh adanya konflik nelayan di perairan sekitar Bulukumba yang diakhiri dengan aksi pembakaran kapal oleh nelayan. Kapal yang terbakar ini kebetulan berasal dari Kabupaten Bantaeng sehingga isu yang berkembang seolah-olah menjadi konflik nelayan antara kedua Kabupaten, padahal konflik ini muncul akibat adanya nelayan yang merasa terganggu dari aktvitas nelayan lain yang menggunakan alat tangkap perre-perre dengan alat bantu berupa lampu.
Alat bantu lampu memang biasanya
digunakan untuk menarik gerombolan ikan karena ikan ini peka terhadap cahaya di
malam hari, peristiwa ini lebih dikenal sebagai Fototaxis, jenis ikan yang peka terhadap cahaya biasanya berupa
ikan-ikan pelagis (ikan permukaan) sementara ikan demersal (ikan karang) tidak
terlalu peka terhadap cahaya karena sifat mereka lebih teritorial. kepekaan terhadap
cahaya ini salah satunya disebabkan karena pada area yang terkena lampu
gerombolan ikan dapat melihat dengan jelas plankton-plankton yang menjadi
sumber makanan mereka. Sifat kepekaan inilah yang kemudian dimanfaatkan nelayan
untuk menangkap ikan dengan mudah.
Namun demikian, ternyata
penggunaan lampu ini bisa berdampak negatif terhadap nelayan Non Lampu, karena
ikan-ikan akan tertarik kearah cahaya sementara nelayan yang tidak menggunakan lampu
akan kesulitan mendapatkan ikan. Hal inilah yang memicu konflik antar nelayan
karena ada nelayan yang notabene “Pendatang” menggunakan lampu
diperairan tradisional mereka, sehingga nelayan lokal yang selama ini hanya
menggunakan jaring insang hanyut kesulitan bersaing dalam mendapatkan ikan.
Adapun alasan dari nelayan pengguna lampu adalah wilayah perairan Bulukumba masih merupakan wilayah
NKRI dan tidak dikenal batas-batas Kabupaten pada wilayah perairan. Anggapan
ini memang benar namun jangan lupa bahwa
penggunaan alat bantu ini diatur pada PermenKP No.18 Tahun 2021, dimana pada
permen ini diatur penggunaan alat bantu lampu untuk semua jenis alat tangkap
yang bersifat aktif dan mobile hanya boleh digunakan diatas jalur penangkapan
ikan 1A (2 Mill) atau tidak boleh diperairan pantai, adapun alat tangkap dengan
lampu yang dibolehkan di perairan pantai hanya yang bersifat menetap seperti
Anco dan Bagan Tancap.
Meskipun dalam permenKP No.18
Tahun 2021 tidak menyebut secara spesifik alat tangkap perre-perre yang
digunakan oleh nelayan bantaeng karena alat tangkap jenis ini memang baru dan
belum diidentifikasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, namun secara prinsip kerja alat ini termasuk dalam golongan
jaring angkat dengan bantuan lampu dan diatur dalam lampiran permen bahwa alat
sejenis ini hanya boleh beroperasi diperairan 2 Mill keatas. Kejadian serupa
juga pernah terjadi pada alat tangkap yang bernama cantrang, alat ini merupakan modifikasi dari alat tangkap terlarang yaitu pukat Harimau, karena pukat harimau dilarang di aturan formal
nelayan berusaha “mengelabui” aturan
dengan memodifikasi pukat harimau menjadi cantrang, sayap kayu pukat harimau
dihilangkan dan berganti nama menjadi cantrang. Akhirnya cantrang pun mendapat
penolakan diberbagai wilayah karena prinsip kerjanya masih sama dengan pukat
harimau.
Selain itu, berdasarkan standar
FAO (Food and Agriculture Organization) sebuah organisasi dibawah naungan PBB
menyebut bahwa ada 9 (Sembilan) kriteria alat tangkap dikatakan ramah
lingkungan (1995) atau Standar Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)
yaitu :
1. Mempunyai
selektifitas tinggi
2. Tidak
merusak habitat
3. Menghasilkan
ikan yang berkualitas tinggi
4. Tidak
membahayakan nelayan
5. Produksi
tidak membahayakan konsumen
6. By
Catch rendah
7. Dampak
ke biodiversity rendah
8. Tidak
membahayakan ikan-ikan yang dilindungi
9. Dapat
diterima secara sosial.
Dari ke Sembilan kriteria diatas,
alat tangkap perre-perre ini tidak
memenuhi kriteria ke Sembilan karena jenis alat tangkap itu tidak dapat diterima secara sosial oleh
masyarakat lokal, dan kemungkinan juga tidak memenuhi kriteria 1 & 6 karena
ukuran mata jaring yang digunakan berlum distandarisasi sehingga semua jenis
dan ukuran ikan akan tertangkap oleh alat tangkap ini.
Dengan berbagai polemik diatas,
untuk mengatasi konflik ini berlaurt-larut diperlukan upaya mediasi antara
kedua belah pihak, kekerasan yang dilakukan oleh nelayan dengan cara main hakim
sendiri memang tidak dapat dibenarkan, namun prinsip mencari
nafkah juga harus ditekankan agar tidak menganggu pihak lain.
Comments
Post a Comment